Kemiskinan strukural
Merupakan kemiskinan yang
disebabkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang belum pro rakyat. Menurut Lono
Lastoro (Dosen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada),
kemiskinan struktural bukan karena kemalasan si miskin atau etos kerja, tetapi
karena sistem sosial, politik dan ekonomi negara yang menyebabkan satu atau
banyak kelompok termarginalkan.[1]
Kemiskinan struktural yang muncul
bukan karena ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena
ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan
kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur
sosial tersebut tidak mampu menguhubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang
tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada
disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah buruh tani,
pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak terpelajar dan tidak terlatih.
Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural ini adalah pemerintah,
karena pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan
masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang pro
masyarakat miskin, jikapun ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada
pembangunan kesejahteraan. Sehingga tidak ada masyarakat miskin yang ‘naik
kelas’, artinya jika pada awalanya buruh, nelayan, pemulung maka selamanya
menjadi buruh nelayan dan pemulung, karena tidak ada upaya dalam menaikan
derajat dan kemampuan mereka baik itu dalam kesempatan pendidikan atau
pelatihan.[2]
Beberapa faktor yang dianggap
sebagai penyebab kemiskinan majemuk meliputi tiga aspek yaitu :
1.Kelembagaan, rakyat miskin tidak punya akses ke pembuat keputusan dan kebijakan, sedangkan kelembagaan yang ada tidak pernah menjaring atau menyalurkan aspirasi yang muncul dari bawah, dan setiap kebutuhan rakyat miskin sudah didefinisikan dari atas oleh kelembagaan yang ada, sehingga kemiskinan tidak dapat terselesaikan.2.Regulasi, kebijakan pemerintah yang mengutamakan kepentingan ekonomi. Kebijakan ekonomi dalam investasi modal pada sektor-sektor industri yang tidak berbasis pada potensi rakyat menutup kesempatan masyarakat untuk mengembangkan potensinya dan menjadi akar proses pemiskinan.3.Good governance, tidak adanya transparansi dan keterbukaan pada pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang mengakibatkan kebijakan hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu. Segala bentuk regulasi diputuskan oleh lembaga-lembaga pembuat kebijakan tanpa mengikutkan para pelaku yang terlibat dan tidak memahami aspirasi rakyat miskin sehingga kebijakan yang muncul tidak mendukung rakyat miskin.
Aspek politik yang mengakibatkan
kemiskinan yaitu:
1. Tidak ada budaya demokrasi yang mengakar.2. Keputusan-keputusan politik yang sangat dipengaruhi keputusan dan kepentingan politik dari luar negeri.3. Tidak ada kontrol langsung dari rakyat terhadap birokrasi.4. Tidak berdayanya mekanisme dan sistem perwakilan politik menghadapi kepentingan modal.
Aspek ekonomi yang mengakibatkan
munculnya kemiskinan yaitu:
1. Kebijakan globalisasi atau liberalisasi sistem ekonomi.
2. Rendahnya akses terhadap faktor produksi pembangunan yang berorientasi pertumbuhan.
3. Spekulasi mata uang.
Aspek sosial budaya yang
mengakibatkan kemiskinan yaitu:
1. Hancurnya identitas sosio kultural yang hidup di masyarakat.
2. Hancurnya kemampuan komunikasi antar berbagai kelompok dan gerakan social.
3. Marginalisasi mayoritas rakyat.
4. Lemahnya kelembagaan yang ada.
5. Kuatnya budaya bisu di semua lapisan masyarakat.[3]
Kemiskinan Kultural
Sedangkan kebudayaan kemiskinan, merupakan
kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang
dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib,
kurang memiliki etos kerja, atau mungkin adanya budaya hedonisme, dan
sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan
mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga,
terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah
yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak
cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada
perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.
Pandangan lain tentang budaya
kemiskinan adalah, bahwa kebudayaan kemiskinan merupakan efek domino dari
belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama,
sehingga membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang
terjadi adalah takdir, dalam konteks keagamaan disebut dengan paham Jabariah, terlebih paham ini disebarkan
dan di doktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh kemiskinan ini ada pada
masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal
lainnya.[4]
Kemiskinan Rasional
Merupakan suatu kemiskinan yang
disebabkan oleh keterbatasan kualitas maupun kuantitas SDA dan SDM, tidak adanya/
hilangnya sumber daya alam yang menguntungkan dan kurangnya keahlian dan
kualitas sumber daya manusianya mau tidak mau menjadi penyebab terjadinya
kemiskinan rasional. Selain itu pula bisa diakibatkan oleh musibah, bencana
alam dan bencana-bencana lainnya, seperti tahun 2004 ketika terjadi tsunami di
Aceh, suka tidak suka masyarakat yang terkena tsunami harus kehilangan harta
benda mereka dan hidup dengan kekurangan, atau mungkin sama halnya dengan
korban amuk massa dan sebagainya. Juga dalam konsep roda kehidupan, dimana ada
saatnya seorang pemilik perusahaan yang jatuh miskin dikarenakan perusahaanya
merugi, berubahnya seseorang yang kaya menjadi miskin karena sebab dan akibat
yang masuk akal.
Hubungan Dengan Pelayanan Kesehatan
Kemiskinan Struktural, karena pada kenyataanya di indonesia dalam
masyarakat miskin yang telah terstruktur akibat dari politik, sistem, dan
kebijakan, menyebabkan adanya diskriminasi dalam pelayanan kesehatan. Karena
tidak adanya sistem, kebijakan, serta penerapan langsung ke masyarakat yang mendukung masyarakat miskin agar dapat
menikmati fasilitas umum dalam pelayanan kesehatan membuat hanya
kalangan-kalangan yang memiliki kelas yang lebih tinggi dan memiliki jabatan
saja yang dapat menikmati pelayanan kesehatan dengan maksimal terkait dengan
kebijakan.
Kemiskinan Kultural, dalam pelayanan kesehatan yang buruk terhadap
masyarakat miskin terkait dengan kemiskinan kultural ini karena masyarakat
miskin sudah merasa pasrah dan malas akan pelayanan kesehatan yang buruk
terhadap mereka, tidak adanya pemikiran yang kritis dari masyarakat miskin
terhadap penyedia pelayanan kesehatan dan pemerintah, sehingga pemerintah
merasa tidak adanya pengaduan secara langsung dan menganggap kebijakan mereka
yang pro terhadap masyarakat miskin sudah berjalan dengan semsetinya.
Kemiskinan Rasional, pelayanan kesehatan terkait dengan kemiskinan
rasional itu berkaitan dengan kemiskinan struktural dan kultural, karena
masyarakat miskin ini memang tidak mampu sama sekali dan tidak adanya
sarana-prasarana serta dari segi transportasi maupun dukungan dari lingkungan atau
memang adanya kemalasan, mengakibatkan mereka tidak dapat menjangkau tempat pelayanan
kesehatan yang ada, mengakibatkan buruknya pelayanan kesehatan bagi masyarakat
miskin karena memang jarang masyarakat miskin yang mau atau sanggup ke tempat
pelayanan kesehatan/rumah sakit.
[1] “Indonesia Dibelenggu Kemiskinan Struktural Pemerintah
Belum Prorakyat”. yipd.or.id. 12 Augustus 2010. 18 November 2013.
[2] Rahmatullah,Rahmat.”Kemiskinan
Kultural Buah dari Kemiskinan Struktural”. rahmatullah.net. 8 April
2010. 18 November 2013.
[3] Aminuddin,Kanzul Fikri. “Makalah Kemiskinan Struktural
dan Kultural”. kanzulaminuddin.blogspot.com. 10 November 2010. 18
November 2013. < http://kanzulaminuddin.blogspot.com/2010/11/makalah-kemiskinan-struktural-dan.html
[4]
Rahmatullah,Rahmat.”Kemiskinan Kultural Buah dari Kemiskinan Struktural”.
rahmatullah.net. 8 April 2010. 18 November 2013.